Berkah Di Balik Gempa
(Oleh: Kevin de'Hobo)
Pagi itu, Sabtu, 26 Mei 2010 tepat pukul 05.59. Kabut tebal masih menyelimuti pandangan dan mataharipun masih enggan menampakkan sinar anggunnya. Namun hal itu itu tidak mengurangi niat Alan untuk melanjutkan menuntut ilmu di sekolahnya. Dengan pakaian yang rapi dan rambut yang tertata rapi, ia bersiap berangkat ke sekolahnya untuk menyongsong masa depannya.
Saat ia hendak berpamitan pada ayahnya, tiba-tiba terdengar suara-suara aneh, “tok, tok, tok, dog,dog.” Semua alat masak di dapur berjatuhan, semua anggota keluargapun berteriak histeris “Gempa, gempa. Alan awas gempa cepat keluar!” kata ayahnya sambil menarik tangan Alan. “Apa yang terjadi?”, pikir Alan dalam benaknya, sambil berlari ke luar rumah.
Beberapa menit kemudian, gempa mulai berhenti. “Amin. Trimakasih ya Tuhan!”, kata Ayahnya. Walaupun suasana masih belum menentu, Alan bertanya kepada ayahnya, “Yah, tadi itu kenapa?”, tanya Alan. “Tadi gempa kak, ngeri ya gempanya?” sahut adiknya, Ivana. “Owww..gempa ya, aku kira apa.”, jawab Alan dengan nada santai. Dalam suasana seperti itu, sikap cuek Alan kembali muncul. Di saat semuanya panik, ia hanya diam tanpa ada reaksi apapun dan raut mukanya masih menggambarkan ketenangan.
Setelah mendengar kabar dari TV dan radio, merekapun tahu bahwa gempa yang baru saja terjadi merupakan gempa cukup besar yang berskala 5,9 skala richter. “Wah, kak, besar banget ya gempanya?”, tanya Ivana pada Alan. “Iya, Vi. Bisa-bisa tsunami nanti.” Kata Alan dengan santainya. Kakanya, Axel yang ada didekatnya langsung menjwab, “Hus, jangan ngawur kamu Lan!” jawabnya dengan nada sedikit marah. Dari dulu ia memang tidak suka dengan sikap cuek Alan yang selalu meremehkan hal apapun. Tapi, Alan tidak menanggapi nasihat kakaknya, ia hanya memalingkan pandangannya dari muka Axel.
Setelah yakin bahwa gempa benar-benar berhenti, Alan memutuskan untuk berangkat ke sekolah. Di saat kakak dan adiknya masih ketakutan dan enggan berangkat ke sekolah, Alan malah benar-benar ingin untuk berangkat ke sekolah. Sepertinya tidak ada rasa takut sedikitpun di hatinya.
“Yah, Alan berangkat ya?” tanya Alan pada ayahnya.
“Kamu yakin, Lan? Kakak dan adikmu saja tidak mau berangkat. Apa kamu berani?”, tanya ayahnya.
“Ya ampun yah, sekarang udah ngga gempa, knapa harus takut?.”, jawab Alan dengan santai dan penuh keyakinan.
“Ya sudah, ayo ayah antar.”, jawab ayahnya.
Sesampainya di sekolah, semua warga sekolah masih terlihat panik dan ketakutan. Untuk menenangkan keadaan, kepala sekolah segera bertindak. Ia membunyikan bel masuk. Semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Proses belajar-mengajar berjalan seperti biasanya. Tetapi, saat semua siswa sedang belajar, terdengar keramaian di luar. Banyak orang barbondong-bondong dan berjalan ke Arah Barat. Semua siswapun serentak keluar dari kelas. “Kenapa itu Al?”, tanya Micho pada Alan. “Aku juga ngga tau.”, jawab Alan.
Di saat semua murid dan guru kebingungan, kepala sekolah segera mengumumkan agar semuanya pulang. “ Apa? Pulang? Pak, kitakan masih belajar?”, tanya Alan dengan penuh kebingungan. Kepala sekolah tak menjawab satu katapun, ia menyuruh setiap wali kelas untuk membawa anak-anak mengikuti kerumunan orang itu.
Sesaat setelah itu, semua siswapun mengikuti kerumunan orang-orang itu. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Alan terus menerus menggerutu. “Ah, knapa sih ini?’ tanyanya pada Micho. “Iya ni, sungguh sangat aneh.”, jawab Micho. Tak hanya Alan yang kebingungan, semua orang yang mengikuti kerumunan itupun terlihat kebingungan, raut muka mereka penuh dengan ketakutan. Bahkan, tak sedikit Ibu-ibu yang menangis, wali kelasnya, Ibu Indah juga ikut menangis.
Alan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia merasa semua orang dewasa menyembunyikan sesuatu darinya. Iapun memberanikan dirinya untuk bertanya. “Bu, Ibu knapa?” tanyanya penuh keluguan. “Sudah, kalian tidak perlu tahu, yang penting sekarang kamu berdoa saja.”, saran Bu Indah. “Lho Bu, saya tanyanya kenapa? Kenapa saya harus berdoa?” tanya Alan dengan nada kurang sopan. Alan terus menunggu jawaban dari Bu Indah, tapi Bu Indah tidak menjawab sepatah katapun. Saat Alan hendak bertanya lagi, seorang Bapak tua yang ada disebelahnya menjawab “Nak, sebentar lagi akan ada tsunami, makannya kita harus pergi ke tempat tinggi.”, jelas Bapak itu. “Tsunami? Bapak tahu dari mana?’” tanya Alan penuh kebingungan. “Dari radio, nak. Semua radio sudah menyiarkannya.” Sesaat setelah mendengar perkataan Bapak tadi, dadanyapun penuh sesak dengan penyesalan, ia benar-benar menyesal atas semua yan diperbuat dan dikatakannya tadi. Tadi pagi, dengan santai dia berbicara bahwa akan ada tsunami, dan ternyata hal itu benar. Ia terus menyalahkan dirinya, karena ia telah nekat untuk berangkat sekolah dan selalu mengindahkan nasihat orang lain. “Ya ampun, Tuhan maafkan saya.”, katanya penuh penyesalan. “Knapa Al?”,tanya Micho yang dari tadi ada di sampingnya. “Ak nyesel Mich, tadi aku udah nekat berangkat sekolah. Kamu tahu knapa kita semua berjalan ke arah Barat?” tanyanya pada Micho. “Ngga tau, emang kenapa Al?” tanya Micho penuh dengan penasaran. “Tsunami Mich, bentar lagi akan ada tsunami.” Jawab Alan. Sebelum sempat mejawab, Micho sudah terlebih dahulu menagis mendengar perkataan Alan. Alan segera berdoa kepada Tuhan. Tidak seperti biasanya, Ia berdoa dengan sungguh-sungguh pada saat itu. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya, “Kenapa aku berangkat tadi? Kenapa ak ngga dengerin Axel?” tanyanya dalam hati. Dari sekian banyak pertanyaan yang ada di pikirannya, ada sebuah pertanyaan yang paling membuatnya penasaran, “Bagaimana kalau aku mati? Apa aku masih bisa hidup?” pertanyaan itulah yang akhirnya membuat sesak pikirannya.
Sebelum sempat menjawab pertanyaan itu, tangis semua orang semakin menjadi-jadi. “Astafirulah, astafirulah” kata seorang Ibu yang menagis disebelahnya. Melihat semua orang yang ketakutan, dada Alanpun serasa sesak oleh penyesalan dan ketakutan. Baru kali ini ia merasakan ketakutan sehebat ini. Tak ada orang yang bisa dimintai bantuan, semua orang perlu bantuan. Ingin rasanya ia menangis, menagisi nasibnya yang begitu sial. Dadanyapun semakin sakit karena ia terus menerus menahan tangis yang ingin keluar sejak tadi. Ia sangat enggan untuk menangis, entah kenapa. Sudah sangat lama ia tidak pernah menangis, hatinya seakan telah terkunci dan membatu, padahal kenyataanya, hatinya menangis pilu. Inilah kali pertama Alan bisa panik, biasanya ia sangat santai menghadapi hal apapun. Tapi saat ini, yang ada dipikirannya hanyalah segudang penyesalan dan rasa takut. Dengan penuh niat, ia melanjutkan untuk berdoa. “Ya Tuhan ampunilah dosa-dosa saya. Jika Tuhan mengijinkan, antarlah saya ke rumah dengan selamat.”, itulah doa yang terlontar dari pikirannya. Ia sangat ingin pulang ke rumah. Ingin rasanya ia memeluk semua angota keluarganya dan meminta maaf akan semua kesalahannya.
Sambil melanjutkan berjalan, Alan terus berdoa. Sampai tingkat kesabarannyapun habis, tangis yang sejak tadi di tahannya, perlahan luruh tanpa ia sadari. Hatinya penuh dengan kebingungan matanyapun mulai berair dan tangis yang ada di hatinyapun memaksa keluar. Tapi, saat ia mulai menyerah dan berpasrah akan keadaannya, tiba-tiba ada sepeda motor yang menghampirinya . Ya, itu adalah orang tua Micho, Pak Luis. Pak Luis mengajak Alan untuk pulang bersama. “Alan, ayo pulang sama Om, orang tuamu pasti sudah khawatir.”. kata Pak Luis. Tanpa berpikir panjang, Alan langsung menerima ajakan Pak Luis. “Iya, Om. Makasih ya Om!”
Selama perjalanan pulang, Alan terus menerus bersyukur pada Tuhan. Ia benar-benar bersyurukur karena ia telah diberi kesempatan untuk melanjutkan hidupnya dan memperbaiki semua kesalahannya. Selama perjalanan, semua rasa takut yang menyesaki hatinya perlahan luruh, luruh oleh semangat dan rasa senang karena ia bisa pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah. “Wah, Om. Makasih banyak ya! Saya ngga tahu gimana harus berterima kasih sama om.” , katanya pada Pak Luis. “Ya ampun, tenang aja Lan. Kamukan temennya Micho, jadi Om juga harus bantu kamu.” Jawab Pak Luis. “Iya Om, skali lagi trima kasih!” katanya lagi. “Iya Lan Om pergi dulu ya.”, balas Pak Luis.
Setelah sampai. Alan hanya bisa terheran-heran. Bagaimana tidak? Di rumahnya, tidak ada suasana panik dan ketakutan sama sekali. Adik dan kakaknya sedang sibuk bermain komputer, Ayahnya sedang duduk santai di teras rumah. “Kenapa mereka masih santai-santai?”, tanyanya dalam hati. “Hallo, kak! Kok udah pulang?”, tanya Ivana. “Hah? Kamu ngga tau?”, balas Alan. “Apanya yang ngga tau kak?”, tanya Ivana. Karena merasa semua orang di rumah memang tidak tahu, Alanpun merasa enggan menjawab. Ia mengurungkan niatnya untuk memeluk keluarganya seperti rancananya tadi. Ia benar-benar kesal karena saat ia tadi kebingungan dan panik, tak ada satu anggota keluargapun yang merasakan hal yang sama.
Setelah beganti baju, Alan langsung menyalakan TVnya. Setelah mendengar berita terkini mengenai gempa di Jogja. Ia hanya bisa ternganga. “Ya ampun, berarti tsunami tadi itu cuma isu?”, katanya.
Iapun merasa seakan ia sangat bodoh tadi. Ia ketakutan hanya karena kabar angin yang tidak benar. Iapun merasa malu pada dirinya sendiri. Namun, ia juga bersyukur. Karena dengan kejadian pada hari ini, ia biasa belajar tentang pentingnya orang lain. Ia menyadari bahwa ia sangat membutuhkan orang lain ada disampingnya. Ia segera mendatangi kakaknya Axel dan meminta maaf kepadanya, kerena ia menyadari behwa selama ini dirinya terlampau kurang sopan pada kakanya itu.
Hari itu, Sabtu, 27 Mei 2006, merupakan hari tidak terlupakan untuk Alan. Hari dimana ia dapat merasakan ketakutan yang luar biasa. Hari itu juga yang telah memberinya pelajaran berharga tentang arti hidup yang sebenarnya. Ia menjadi sadar akan pentingnya peran orang-orang yang ada di sisinya. Ia mulai sadar bahwa sikap menyepelekan hal-hal tertentu tidak baik, karena semua hal pasti memiliki akibat, entah buruk maupun baik. Setelah hari itu, ia memiliki tekat baru untuk menjadi orang yang lebih baik. Ia ingin menghilangkan kebiasaan buruknya dan memulai kebiasaan baik yang dapat dilakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar